BIOGRAFI 4 PARA PAHLAWAN NASIONAL TERBARU


Abdul Wahab Hasbullah


Kiai Haji Abdul Wahab Hasbullah (lahir di Jombang, 31 Maret 1888 – meninggal 29 Desember 1971 pada umur 83 tahun) adalah seorang ulama pendiri Nahdatul Ulama. KH Abdul Wahab Hasbullah adalah seorang ulama yang berpandangan modern, dakwahnya dimulai dengan mendirikan media massa atau surat kabar, yaitu harian umum “Soeara Nahdlatul Oelama” atau Soeara NO dan Berita Nahdlatul Ulama. Ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 7 November 2014
Keluarga
Ayah KH Abdul Wahab Hasbullah adalah KH Hasbulloh Said, Pengasuh Pesantren Tambakberas Jombang Jawa Timur, sedangkan Ibundanya bernama Nyai Latifah.
Pendidikan
Ia juga seorang pelopor dalam membuka forum diskusi antar ulama, baik di lingkungan NU, Muhammadiyah dan organisasi lainnya. Ia belajar di Pesantren Langitan Tuban, Pesantren Mojosari Nganjuk, Pesantren Tawangsari Sepanjang, belajar pada Syaikhona R. Muhammad Kholil Bangkalan, Madura, dan Pesantren Tebuireng Jombang di bawah asuhan Hadratusy Syaikh KH. M. Hasyim Asy‘ari. Disamping itu, Kyai Wahab juga merantau ke Mekkah untuk berguru kepada Syaikh Mahfudz at-Tirmasi dan Syaikh Al-Yamani dengan hasil nilai istimewa.
Aktivitas di Nahdatul Ulama
KH. Abdul Wahab Hasbulloh merupakan bapak Pendiri NU Selain itu juga pernah menjadi Panglima Laskar Mujahidin (Hizbullah) ketika melawan penjajah Jepang. Ia juga tercatat sebagai anggota DPA bersama Ki Hajar Dewantoro. Tahun 1914 mendirikan kursus bernama “Tashwirul Afkar”.
Tahun 1916 mendirikan Organisasi Pemuda Islam bernama Nahdlatul Wathan, kemudian pada 1926 menjadi Ketua Tim Komite Hijaz. KH. Abdul Wahab Hasbulloh juga seorang pencetus dasar-dasar kepemimpinan dalam organisasi NU dengan adanya dua badan, Syuriyah dan Tanfidziyah sebagai usaha pemersatu kalangan Tua dengan Muda.
Pelopor Kebebasan Berpikir
KH. A. Wahab Hasbullah adalah pelopor kebebasan berpikir di kalangan Umat Islam Indonesia, khususnya di lingkungan nahdhiyyin. KH. A. Wahab Hasbullah merupakan seorang ulama besar Indonesia. Ia merupakan seorang ulama yang menekankan pentingnya kebebasan dalam keberagamaan terutama kebebasan berpikir dan berpendapat. Untuk itu kyai Abdul Wahab Hasbullah membentuk kelompok diskusi Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran) di Surabaya pada 1914.
Mula-mula kelompok ini mengadakan kegiatan dengan peserta yang terbatas. Tetapi berkat prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat yang diterapkan dan topik-topik yang dibicarakan mempunyai jangkauan kemasyarakatan yang luas, dalam waktu singkat kelompok ini menjadi sangat populer dan menarik perhatian di kalangan pemuda. Banyak tokoh Islam dari berbagai kalangan bertemu dalam forum itu untuk memperdebatkan dan memecahkan permasalahan pelik yang dianggap penting.
Tashwirul Afkar tidak hanya menghimpun kaum ulama pesantren. Ia juga menjadi ajang komunikasi dan forum saling tukar informasi antar tokoh nasional sekaligus jembatan bagi komunikasi antara generasi muda dan generasi tua. Karena sifat rekrutmennya yang lebih mementingkan progresivitas berpikir dan bertindak, maka jelas pula kelompok diskusi ini juga menjadi forum pengkaderan bagi kaum muda yang gandrung pada pemikiran keilmuan dan dunia politik.
Bersamaan dengan itu, dari rumahnya di Kertopaten, Surabaya, Kyai Abdul Wahab Hasbullah bersama KH. Mas Mansur menghimpun sejumlah ulama dalam organisasiNahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang mendapatkan kedudukan badan hukumnya pada 1916. Dari organisasi inilah Kyai Abdul Wahab Hasbullah mendapat kepercayaan dan dukungan penuh dari ulama pesantren yang kurang-lebih sealiran dengannya. Di antara ulama yang berhimpun itu adalah Kyai Bisri Syansuri (Denanyar Jombang), Kyai Abdul Halim, (Leimunding Cirebon), Kyai Alwi Abdul Aziz, Kyai Ma’shum (Lasem) dan Kyai Cholil (Kasingan Rembang). Kebebasan berpikir dan berpendapat yang dipelopori Kyai Wahab Hasbullah dengan membentuk Tashwirul Afkar merupakan warisan terpentingnya kepada kaum muslimin Indonesia. Kyai Wahab telah mencontohkan kepada generasi penerusnya bahwa prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat dapat dijalankan dalam nuansa keberagamaan yang kental. Prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat tidak akan mengurangi ruh spiritualisme umat beragama dan kadar keimanan seorang muslim. Dengan prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat, kaum muslim justru akan mampu memecahkan problem sosial kemasyarakatan dengan pisau analisis keislaman.
Pernah suatu ketika Kyai Wahab didatangi seseorang yang meminta fatwa tentang Qurban yang sebelumnya orang itu datang kepada Kyai Bisri Syansuri. “Bahwa menurut hukum Fiqih berqurban seekor sapi itu pahalanya hanya untuk tujuh orang saja”, terang Kyai Bisri. Akan tetapi Si Fulan yang bertanya tadi berharap anaknya yang masih kecil bisa terakomodir juga. Tentu saja jawaban Kyai Bisri tidak memuaskan baginya, karena anaknya yang kedelapan tidak bisa ikut menikmati pahala Qurban. Kemudian oleh Kyai Wahab dicarikan solusi yang logis bagi Si Fulan tadi. “Untuk anakmu yang kecil tadi belikan seekor kambing untuk dijadikan lompatan ke punggung sapi”, seru kyai Wahab.
Dari sekelumit cerita di atas tadi, kita mengetahui dengan jelas bahwa seni berdakwah di masyarakat itu memerlukan cakrawala pemikiran yang luas dan luwes. Kyai Wahab menggunakan kaidah Ushuliyyah “Maa laa yudraku kulluh, laa yutraku julluh”, Apa yang tidak bisa diharapkan semuanya janganlah ditinggal sama sekali. Di sinilah peranan Ushul Fiqih terasa sangat dominan dari Fiqih sendiri.
Seorang Inspirator GP Ansor
Dari catatan sejarah berdirinya GP Ansor dilahirkan dari rahim Nahdlatul Ulama (NU). Berawal dari perbedaan antara tokoh tradisional dan tokoh modernis yang muncul di tubuh Nahdlatul Wathan, organisasi keagamaan yang bergerak di bidang pendidikan Islam, pembinaan mubaligh dan pembinaan kader. KH. Abdul Wahab Hasbullah, tokoh tradisional dan KH. Mas Mansyur yang berhaluan modernis, akhirnya menempuh arus gerakan yang berbeda justru saat tengah tumbuhnya semangat untuk mendirikan organisasi kepemudaan Islam. Dua tahun setelah perpecahan itu, pada 1924 para pemuda yang mendukung KH. Abdul wshab hasbulloh –yang kemudian menjadi pendiri NU– membentuk wadah dengan nama Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air).
Organisasi inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Gerakan Pemuda Ansor setelah sebelumnya mengalami perubahan nama seperti Persatuan Pemuda NU (PPNU), Pemuda NU (PNU), dan Anshoru Nahdlatul Oelama (ANO).
Nama Ansor ini merupakan saran KH. Abdul Wahab Hasbullah —ulama besar sekaligus guru besar kaum muda saat itu, yang diambil dari nama kehormatan yang diberikan Nabi Muhammad SAW kepada penduduk Madinah yang telah berjasa dalam perjuangan membela dan menegakkan agama Allah. Dengan demikian ANO dimaksudkan dapat mengambil hikmah serta tauladan terhadap sikap, perilaku dan semangat perjuangan para sahabat Nabi yang mendapat predikat Ansor tersebut. Gerakan ANO harus senantiasa mengacu pada nilai-nilai dasar sahabat Ansor, yakni sebagi penolong, pejuang dan bahkan pelopor dalam menyiarkan, menegakkan dan membentengi ajaran Islam.

Meski ANO dinyatakan sebagai bagian dari NU, secara formal organisatoris belum tercantum dalam struktur organisasi NU. Baru pada Muktamar NU ke-9 di Banyuwangi, tepatnya pada tanggal 10 Muharram 1353 H atau 24 April 1934, ANO diterima dan disahkan sebagai bagian (departemen) pemuda NU. Dimasukkannya ANO sebagai salah satu departemen dalam struktur kelembagaan NU berkat perjuangan kiai-kiai muda seperti KH. Machfudz Siddiq, KH. A. Wahid Hasyim, KH. Dachlan,



Djamin Ginting



Letjen TNI (Purn) Djamin Ginting (lahir di Desa Suka, Tiga Panah, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, 12 Januari 1921 – meninggal di Ottawa, Kanada, 23 Oktober 1974 pada umur 53 tahun) adalah seorang pejuang kemerdekaan menentang pemerintahan Hindia Belanda di Taneh Karo yang diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 7 November2014
Kehidupan awal
Djamin Ginting dilahirkan di desa Suka, kecamatan Tiga Panah, Kabupaten Karo. Setelah menamatkan pendidikan sekolah menengah dia bergabung dengan satuan militer yang diorganisir oleh opsir-opsir Jepang. Pemerintah Jepang membangun kesatuan tentara yang terdiri dari anak-anak muda di Taneh Karo guna menambah pasukan Jepang untuk mempertahankan kekuasaan mereka di benua Asia. Djamin Ginting muncul sebagai seorang komandan pada pasukan bentukan Jepang itu.
Karier kemiliteran
Memimpin pasukan setelah kekalahan Jepang
Rencana Jepang untuk memanfaatkan putra-putra Karo memperkuat pasukan Jepang kandas setelah Jepang menyerah kepada sekutu pada Perang Dunia II. Jepang menelantarkan daerah kekuasaan mereka di Asia dan kembali pulang ke Jepang. Sebagai seorang komandan, Djamin Ginting bergerak cepat untuk mengkonsolidasi pasukannya. Dia bercita cita untuk membangun satuan tentara di Sumatera Utara. Dia menyakinkan anggotanya untuk tidak kembali pulang ke desa masing masing. Ia memohon kesediaan mereka untuk membela dan melindungi rakyat Karo dari setiap kekuatan yang hendak menguasai daerah Sumatera Utara. Situasi politik ketika itu tidak menentu. Pasukan Belanda dan Inggris masih berkeinginan untuk menguasai daerah Sumatera.
Pionir pejuang
Dikemudian hari anggota pasukan Djamin Gintings ini akan mucul sebagai pionir-pionir pejuang Sumatera bagian Utara dan Karo. Kapten Bangsi Sembiring, Kapten Selamat Ginting, Kapten Mumah Purba, Mayor Rim Rim Ginting, Kapten Selamet Ketaren, dan lain lain adalah cikal bakal Kodam II/Bukit Barisan yang kita kenal sekarang ini. Ketika Letkol. Djamin Gintings menjadi wakil komandan Kodam II/Bukit Barisan, dia berselisih paham dengan Kolonel M. Simbolon yang ketika itu menjabat sebagai KomandanKodam II/Bukit Barisan. Djamin Ginting tidak sepaham dengan tidakan Kolonel M.Simbolon untuk menuntut keadilan dari pemerintah pusat melalui kekuatan bersenjata. Perselisihan mereka ketika itu sangat dipengaruhi oleh situasi politik dan ekonomi yang melandaIndonesia. Disatu pihak, Simbolon merasa Sumatera dianak-tirikan oleh pemerintah pusat dalam bidang ekonomi. Dilain pihak, Ginting sebagai seorang tentara profesianal memegang teguh azas seorang prajurit untuk membela negara Indonesia.
Operasi Bukit Barisan
Dalam rangka menghadapi gerakan pemberontakan Nainggolan di Medan (Sumatera Utara) maka Panglima TT I, Letkol Inf Djamin Ginting melancarkan Operasi Bukit Barisan. Operasi ini dilancarkan pada tanggal 7 April 1958. Dengan dilancarkannya operasi Bukit Barisan II ini, maka pasukan Nainggolan dan Sinta Pohan terdesak dan mundur ke daerah Tapanuli.[2]
Mengakhiri karier
Dipenghujung masa baktinya, Djamin Ginting mewakili Indonesia sebagai seorang Duta Besar untuk Kanada. Di Kanada ini pulalah Djamin Ginting, mengakhiri hayatnya.
Jabatan yang pernah diduduki
·         Kepala Staf Kodam II/Bukit Barisan
·         Assisten Dua Bagian Perang di TNI
·         Panglima TT I Bukit Barisan
·         Panglima Sumatera Utara
·   Dengan pangkat Mayor Jenderal, menjabat sebagai Wakil Sekretaris Jenderal Front Nasional, di Kabinet Dwikora Revisi Kedua.
·         Penggerak dari pembentukan GAKARI yang nantinya akan membentuk GOLKAR.
Keluarga
Djamin Ginting meninggalkan 5 orang anak. Salah satunya seorang putri bernama Rimenda br Ginting, SH, yang sekarang menjabat sebagai ketua umum Himpunan Masyarakat Karo Indonesia.
Karya Tulis
Semasa hidupnya, Djamin Gintings menulis beberapa buku. Satu diantaranya "Bukit Kadir" mengisahkan perjuangannya di daerah Karo sampai ke perbatasan Aceh melawanHindia Belanda. Seorang anggotanya, Kadir, gugur disebuah perbukitan di Tanah Karo dalam suatu pertempuran yang sengit dengan pasukan Belanda. Bukit itu sekarang dikenal dengan nama Bukit Kadir.

Muhammad Mangundiprojo



Muhammad Mangoendiprodjo (EYD: Muhammad Mangundiprojo; lahir di Sragen, 5 Januari 1905 – meninggal di Bandar Lampung, 13 Desember 1988 pada umur 83 tahun) adalah seorang pejuang kemerdekaan dan perwira militer Indonesia yang ikut serta dalam Pertempuran Surabaya pada tanggal 10 November 1945. Ia diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 7 November 2014
Kehidupan awal
H.R. Muhammad Mangoendiprodjo lahir di Sragen, Jawa Tengah, pada tanggal 5 Januari 1905. Dia adalah cicit dari Setjodiwirjo atau Kiai Ngali Muntoha, salah seorang keturunan Sultan Demak. Setjodiwirjo sendiri merupakan teman seperjuangan Pangeran Diponegoro melawan penjajah Belanda. Keduanya memperluas pemberontakan melawan penjajah Belanda hingga ke daerah Kertosono, Ngawi, dan Banyuwangi, Jawa Timur.
Garis hidup sebenarnya memberi kesempatan kepada Muhammad Mangoendiprodjo untuk bisa hidup berkecukupan dengan menjadi Pamong Praja, wakil kepala jaksa, dan kemudian asisten wedana, di Jombang, Jawa Timur, setelah lulus dari OSVIA pada tahun 1927. Namun setelah Jepang menduduki Indonesia, ia memilih untuk menjadi tentara dengan bergabung menjadi anggotaPembela Tanah Air (PETA) pada tahun 1944.
Karier militer
Setelah lulus pendidikan militer di Surabaya, Mangundiprojo ditugaskan sebagai Daidancho atau Komandan Batalyon PETA diSidoarjo, Jawa Timur. Setelah Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, semua anggota PETA menjadi pasukan intiBadan Keamanan Rakyat (BKR) dan kemudian Tentara Keamanan Rakyat (TKR), yang merupakan cikal bakal TNI.
Masuknya kembali pasukan Belanda (NICA) di Surabaya pada 25 Oktober 1945 menjadi operasi militer terbesar pertamanya. Mangundiprojo bersama Bung Tomo, Doel Arnowo, Abdul Wahab dan Drg Moestopo, memimpin perlawanan terhadap pasukan Sekutu yang berlangsung di seluruh penjuru Surabaya. Hingga tanggal 29 Oktober 1945, pimpinan Sekutu mengadakan pertemuan dengan Bung Hatta untuk melakukan gencatan senjata. Pada pertemuan tersebut, Muhammad Mangundiprojo diangkat oleh Jenderal Oerip Soemohardjo sebagai pimpinan TKR Divisi Jawa Timur dan melakukan kontak biro dengan pasukan Sekutu.
Pada hari yang sama, 29 Oktober 1945 di sore hari, Muhammad bersama Brigadir Mallaby berpatroli keliling kota Surabaya untuk melihat kemajuan gencatan senjata. Rombongan ini berhenti di Jembatan Merah di depan Gedung Internatio. Di dalam gedung itu, tentara Inggris dari kesatuan Gurkha sedang dikepung oleh pemuda-pemuda Indonesia untuk diminta menyerah. Muhammad lantas masuk ke dalam gedung yang dikuasai Inggris untuk melakukan negosiasi. Tanpa disangka, Muhammad malah disandera oleh tentara Gurkha dan terjadilah tembak-menembak antara tentara Inggris dan pemuda Surabaya. Mallaby tewas dalam mobilnya yang meledak dan terbakar.
Tewasnya Mallaby membuat Inggris marah. Inggris mengultimatum rakyat Surabaya yang mempunyai senjata untuk menyerahkan senjatanya. Ultimatum ini spontan ditolak oleh Muhammad yang kemudian memimpin TKR dan pemuda Surabaya melakukanpertempuran yang berpuncak pada tanggal 10 November 1945. Perang terbuka di Surabaya ini berlangsung selama 22 hari dan menewaskan 6.315 pejuang anggota TKR. Muhammad sendiri bertugas memimpin pertempuran melawan tentara Sekutu.[3]
Setelah Pertempuran Surabaya usai, Muhammad Mangundiprojo dipromosikan menjadi Mayor Jenderal oleh Presiden Soekarno.
Karier politik
Setelah mengakhiri karier militer, Muhammad ditugaskan sebagai Bupati Ponorogo dari tahun 1951 sampai 1955, yang salah satu misinya adalah mengamankan daerah Madiunsetelah pemberontakan PKI Muso pada tahun 1948. Prestasinya ini kemudian mengantar Muhammad Mangundiprojo menjadi Residen (Gubernur) pertama Lampung dengan misi utama mengendalikan keamanan di daerah ini.
Kematian dan penghargaan
Muhammad Mangundiprojo tutup usia di Bandar Lampung pada 13 Desember 1988 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Bandar Lampung.
Atas jasa-jasanya dalam mempertahankan kemerdekaan, Presiden Joko Widodo menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 7 November 2014. Penerimaan tanda jasa ini diwakili oleh cucunya, Menteri Kemaritiman Indonesia Indroyono Soesilo. 

Soekarni


Soekarni (EYD: Sukarni; lahir di Blitar, Jawa Timur, 14 Juli 1916 – meninggal di Jakarta, 7 Mei 1971 pada umur 54 tahun), yang nama lengkapnya adalah Soekarni Kartodiwirjo, adalah tokoh pejuang kemerdekaan dan Pahlawan Nasional Indonesia. GelarPahlawan Nasional Indonesia disematkan oleh Presiden Joko Widodo, pada 7 November 2014 kepada perwakilan keluarga di Istana Negara Jakarta
Kelahiran dan masa kecil
Sukarni lahir hari Kamis Wage di desa Sumberdiran, Kecamatan Garum, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Namanya jika dijabarkan berarti "Su" artinya lebih sedangkan "Karni" artinya banyak memperhatikan dengan tujuan oleh orangtuanya agar Sukarni lebih memperhatikan nasib bangsanya yang kala itu masih dijajah Belanda. Sukarni merupakan anak keempat dari sembilan bersaudara.
Urutan saudara
1.     Hono
2.     Sukarmilah
3.     Sukardi
4.     Sukarni
5.     Suparti (Ny. Suparto)
6.     Endang Sarti (Ny. Muslimin)
7.     Endi Sukarto
8.     Sukarjo
9.     Nama tidak diketahui (meninggal ketika masih kecil)
Ayahnya adalah Kartodiwirjo, keturunan dari Eyang Onggo, juru masak Pangeran Diponegoro. Ibunya bernama Supiah, gadis asalKediri. Keluarga Sukarni bisa dikatakan berkecukupan jika dibanding penduduk yang lain. Ayahnya membuka toko daging di pasar Garum dan usahanya sangat laris.
Sukarni masuk sekolah di Mardisiswo di Blitar (semacam Taman Siswa yang dibuat oleh Ki Hajar Dewantara). Di sekolah ini Sukarni belajar mengenai nasionalisme melalui Moh. Anwar yang berasal dari Banyumas, pendiri Mardidiswo sekaligus tokoh pergerakan Indonesia.
Sebagai anak muda, Sukarni terkenal kenakalannya karena sering berbuat onar. Dia sering berkelahi dan hobi menantang orang Belanda. Dia pernah mengumpulkan 30-50 orang teman-temannya dan mengirim surat tantangan ke anak muda Belanda untuk berkelahi. Lokasinya di kebun raya Blitar, dekat sebuah kolam. Anak-anak Belanda menerima tantangan itu dan terjadilah tawuran. Kelompok Sukarni memenangkan perkelahian itu dan anak Belanda yang kalah dicemplungkan ke kolam.
Menjadi Aktivis Pergerakan
Perkenalan Sukarni dengan dunia pergerakan nasional yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dimulai ketika usia masih remaja, 14 tahun, saat dia masuk menjadi anggota perhimpunan Indonesia Muda tahun 1930. Semenjak itu dia berkembang menjadi pemuda militan dan revolusioner. Selain itu ia juga sempat mendirikan organisasi Persatuan Pemuda Kita.
Ketika di MULO, Sukarni dikeluarkan dari sekolah karena mencari masalah dengan pemerintah kolonial Belanda. Bukannya surut, semangat belajarnya malah semakin membara. Dia bersekolah ke Yogyakarta, dan kemudian ke Jakarta pada sekolah kejuruan guru. Atas bantuan Ibu Wardoyo (kakak Bung Karno), Sukarni disekolahkan di Bandung jurusan jurnalistik.
Pada masa-masa di Bandung inilah, konon Sukarni pernah mengikuti kursus pengkaderan politik pimpinan Soekarno. Disinilah dia bertemu dan mengikat sahabat denganWikana, Asmara Hadi dan SK Trimurti.
Tahun 1934 Sukarni berhasil menjadi Ketua Pengurus Besar Indonesia Muda, sementara itu Belanda mulai mencurigainya sebagai anak muda militan. Tahun 1936 pemerintah kolonial melakukan penggerebekan terhadap para pengurus Indonesia Muda, tapi Sukarni sendiri berhasil kabur dan hidup dalam pelarian selama beberapa tahun.
Masa Pendudukan Jepang
Tidak lama sebelum Jepang masuk, Sukarni tertangkap di Balikpapan dan kemudian dibawa ke Samarinda. Namun, setelah Jepang masuk, Sukarni berserta beberapa tokoh pergerakan lain seperti Adam Malik dan Wikana malah dibebaskan oleh Jepang. Awal-awal pendudukan Jepang, Sukarni sempat bekerja di kantor berita Antara yang didirikan oleh Adam Malik (yang kemudian berubah jadi Domei). Di masa Jepang ini, Sukarni juga bertemu dengan Tan Malaka. Tan Malaka-lah yang menjadi otak pembentukan partaiMurba dan dia jugalah yang menyarankan kepada anggota Murba lainnya agar Sukarni yang menjadi Ketua Umum.
Tahun 1943, bersama Chairul Saleh, dia memimpin Asrama Pemuda di Menteng 31. Di tempat itu Sukarni makin giat menggembleng para pemuda untuk berjuang demi kemerdekaan Indonesia. Seperti diketahui, pada kurun selanjutnya, Menteng 31 dikenal sebagai salah satu pusat penting yang melahirkan tokoh Angkatan 45.
Peristiwa Rengasdengklok
Mendengar berita kekalahan Jepang, kelompok pemuda dengan kelompok bawah tanah dibawah pimpinan Sutan Syahrir, bersepakat bahwa inilah saat yang tepat untuk memproklamirkan kemerdekaan. Sukarni, Wikana dan kelompok pemuda lainnya mendesak Soekarno dan Hatta, tapi mereka berdua menolak. Akhirnya terjadilah perdebatan sengit yang berakhir dengan penculikan kedua tokoh tersebut, dengan tujuan menjauhkan Soekarno-Hatta dari "pengaruh" Jepang. Kedua pemimpin itu "diasingkan" keRengasdengklok oleh kelompok pemuda yang dipimpin olehnya
Seputar Proklamasi
Akhirnya semua pihak kemudian bersepakat bahwa proklamasi kemerdekaan akan segera dilakukan pada 17 Agustus 1945. Selanjutnya, Sukarni mengemban amanat kemerdekaan serta bahu membahu bersama kelompok pemuda lainnya dalam meneruskan berita tentang kemerdekaan ini. Sukarni membentuk Comite Van Aksi (semacam panitia gerak cepat) pada 18 Agustus 1945 yang tugasnya menyebarkan kabar kemerdekaan ke seluruh Indonesia. Khusus untuk para pemudanya dibentuk API (Angkatan Pemuda Indonesia) dan untuk buruh dibentuk BBI (Barisan Buruh Indonesia) yang kemudian melahirkan laskar buruh dan laskar buruh wanita.
Di zaman RI berkedudukan di Yogyakarta, Sukarni menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Persatuan Perjuangan (PP) di bawah ketua Tan Malaka. PP beroposisi dengan pemerintah dan menolak perundingan pemerintah terhadap Belanda. Aksi PP ini membuat Sukarni dijebloskan ke penjara pada tahun 1946. Selanjutnya Sukarni juga mengalami penahanan di Solo, Madiun dan Ponorogo (daerah komunis Muso) pada masa pemerintahan Amir Syarifudin (1947/1948)
Menjadi Ketua Partai Murba
Semenjak partai Murba terbentuk pada bulan November 1948 sampai wafatnya, Sukarni menjabat sebagai ketua umum. Dia juga duduk sebagai anggota Badan pekerja KNIPusat. Dalam pemilihan Umum yang pertama (1955) Sukarni terpilih sebagai anggota Konstituante.
Sejak tahun 1961 Sukarni ditunjuk sebagai Duta Besar Indonesia di Peking, ibukota RRT (Republik Rakyat Tiongkok) dan kembali ke tanah air pada bulan Maret 1964. Konon dalam pertemuan di Istana Bogor Desember 1964, Sukarni sempat memperingatkan Bung Karno atas sepak terjang PKI. Tapi berlawanan dengan harapan, partai Murba malah dibekukan tahun 1965 dan Sukarni beserta pemimpin Murba lainnya di penjara.
Di masa Orde Baru, Sukarni dibebaskan dan larangan Murba dicabut (direhabilitasikan 17 Oktober 1966). Kemudian Sukarni ditunjuk sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA, 1967) yang merupakan jabatan resmi terakhir. Tokoh yang mendapat Bintang Mahaputra kelas empat ini wafat pada tanggal 7 Mei 1971 dan dimakamkan diTaman Makam Pahlawan Kalibata dengan upacara kenegaraan.
Penghargaan
·         Bintang Mahaputra  



sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Abdul_Wahab_Hasbullah 
http://id.wikipedia.org/wiki/Djamin_Ginting 
http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Mangundiprojo 
http://id.wikipedia.org/wiki/Soekarni

Komentar

Postingan Populer